BENTURAN KEPENTINGAN
Benturan kepentingan adalah perbedaan antara kepentingan ekonomis
perusahaan dengan kepentingan ekonomis pribadi direktur, komisaris, atau pemegang
saham utama perusahaan. Perusahaan menerapkan kebijakan bahwa personilnya harus
menghindari investasi, asosiasi atau hubungan lain yang akan mengganggu, atau
terlihat dapat mengganggu, dengan penilaian baik mereka berkenaan dengan
kepentingan terbaik perusahaan. Sebuah situasi konflik dapat timbul manakala
personil mengambil tindakan atau memiliki kepentinganyang dapat menimbulkan
kesulitan bagi mereka untuk melaksanakan pekerjaannya secara obyektif dan
efektif. Benturan kepentingan juga muncul manakala seorang karyawan, petugas
atau direktur, atau seorang anggota dari keluarganya, menerima tunjangan
pribadi yang tidak layak sebagai akibat dari kedudukannya dalam perusahaan.
Apabila situasi semacam itu muncul, atau apabila individu tidak yakin apakah
suatu situasi merupakan benturan kepentingan, ia harus segera melaporkan
hal-hal yang terkait dengan situasi tersebut kepada petugas kepatuhan
perusahaan. Apabila manajemen senior perusahaan menetapkan bahwa situasi
tersebut menimbulkan benturan kepentingan, mereka harus segera melaporkan
benturan kepentingan tersebut kepada komite pemeriksa. Berikut ini merupakan
berberapa contoh upaya perusahaan / organisasi dalam menghindari benturan
kepentingan :
1.
Menghindarkan diri dari tindakan dan situasi yang
dapat menimbulkan benturan kepentingan antara kepentingan pribadi dengan
kepentingan perusahaan.
2.
Mengusahakan lahan pribadi untuk digunakan sebagai
kebun perusahaan yang dapat menimbulkan potensi penyimpangan kegiatan
pemupukan.
3.
Menyewakan properti pribadi kepada perusahaan yang
dapat menimbulkan potensi penyimpangan kegiatan pemeliharaan.
4.
Memiliki bisnis pribadi yang sama dengan perusahaan.
5.
Menghormati hak setiap insan perusahaan untuk memiliki
kegiatan di luar jam kerja, yang sah, di luar pekerjaan dari perusahaan, dan
yang bebas dari benturan dengan kepentingan.
6.
Mengungkapkan dan melaporkan setiap kepentingan dan
atau kegiatan-kegiatan di luar pekerjaan dari perusahaan, yaitu:
ü Kepada atasan langsung bagi karyawan,
ü Kepada Pemegang Saham bagi Komisaris, dan
ü Kepada Komisaris dan Pemegang Saham bagi Direksi.
7.
Menghindarkan diri dari memiliki suatu kepentingan
baik keuangan maupun non-keuangan pada organisasi / perusahaan yang merupakan
pesaing, antara lain :
-
Menghindari situasi atau perilaku yang dapat
menimbulkan kesan atau spekulasi atau kecurigaan akan adanya benturan
kepentingan.
-
Mengungkapkan atau melaporkan setiap kemungkinan
(potensi) benturan kepentingan pada suatu kontrak atau sebelum kontrak tersebut
disetujui.
-
Tidak akan melakukan investasi atau ikatan bisnis pada
individu dan pihak lain yang mempunyai keterkaitan bisnis dengan baik secara
langsung maupun tidak langsung.
8.
Tidak akan memegang jabatan pada lembaga-lembaga atau
institusi lain di luar perusahaan dalam bentuk apapun, kecuali telah mendapat
persetujuan tertulisdari yang berwenang.
ETIKA DALAM TEMPAT KERJA
Kewajiban
moral utama sebagai pegawai adalah bekerja mencapai tujuan perusahaan dan
menghindari berbagai kegiatan yang akan mengancam tujuan tersebut. Dalam hal
ini, etika bisnis sangat penting untuk menciptakan lingkungan kerja yang
harmonis dan untuk memberikan citra positif terhadap lingkungan perusahaan. Hal
demikian dibuktikan dengan ungkapan John Rockefeller seorang industriawan
terkemuka Amerika ( 1870 ) pendiri cikal bakal Exxon Mobile, “Kemampuan
bertatakrama terhadap oranglain akan saya nilai lebih tinggi daripada kemampuan
– kemampuan lain”. Berikut akan disebutkan beberapa bentuk etika yang harus
dilaksanakan dalam tempat kerja.
-
Menghormati budaya kerja di perusahaan
-
Menghormati senior dan lakukan sebagaimana mestinya
tanpa bersikap berlebihan.
-
Hormati privacy orang lain
-
Hormati cara pandang orang lain
-
Tangani beban pekerjaan masing – masing
-
Bersikap sopan terhadap seluruh orang yang ada di
dalam perusahaan tersebut.
-
Tidak semena – mena menggunakan fasilitas kantor
Aktivitas Bisnis Internasional – MASALAH BUDAYA
Seorang
pemimpin memiliki peranan penting dalam membentuk budaya perusahaan. Hal itu
bukanlah sesuatu yang kabur dan hambar, melainkan sebuah gambaran jelas dan
konkrit. Jadi, budaya itu adalah tingkah laku, yaitu cara individu bertingkah
laku dalam mereka melakukan sesuatu. Tidaklah mengherankan, bila sama-sama kita
telaah kebanyakan perusahaan sekarang ini. Para pemimpin yang bergelimang
dengan fasilitas dan berbagai kondisi kemudahan. Giliran situasinya dibalik
dengan perjuangan dan persaingan, mereka mengeluh dan malah sering mengumpat
bahwa itu semua karena SDM kita yang tidak kompeten dan tidak mampu. Mereka
sendirilah yang membentuk budaya itu (masalah budaya). Semua karena
percontohan, penularan dan panutan dari masing-masing pemimpin. Maka timbul
paradigma, mengubah budaya perusahaan itu sendiri. Budaya perusahaan memberi
kontribusi yang signifikan terhadap pembentukan perilaku etis, karena budaya
perusahaan merupakan seperangkat nilai dan norma yang membimbing tindakan
karyawan. Budaya dapat mendorong terciptanya prilaku. Dan sebaliknya dapat pula
mendorong terciptanya prilaku yang tidak etis.
AKUNTABILITAS SOSIAL
Akuntabilitas
sosial merupakan proses keterlibatan yang konstruktif antara warga negara
dengan pemerintah dalam memeriksa pelaku dan kinerja pejabat publik, politisi
dan penyelenggara pemerintah. Tujuan dari akuntabilitas sosial adalah sebagai
berikut.
a.
Untuk mengukur dan mengungkapkan dengan tepat seluruh
biaya dan manfaat bagi masyarakat yang ditimbulkan oleh berbagai aktivitas yang
berkaitan dengan produksi perusahaan.
b.
Untuk mengukur dan melaporkan pengaruh kegiatan
perusahaan terhadap lingkungan mencakup financial dan managerial social
accounting, social auditing.
c.
Untuk menginternalisir biaya sosial dan manfaat sosial
agar dapat menentukan suatu hasil yang relevan dan sempurna yang merupakan
keuntungan sosial suatu perusahaan.
Guna
mewujudkan maksimalisasi kinerja akuntabilitas sosial terdapat beberapa faktor
yang sering dijadikan sebagai syarat pokok bagi pelaksanaan akuntabilitas
sosial, antara lain.
1.
Keberadaan Mekanisme yang Menjembatani Hubungan antara
Negara dan Masyarakat
Usaha
untuk mewujudkan akuntabilitas sosial dalam praktek pemerintahan banyak
bertumpu pada ada tidaknya sejumlah mekanisme yang mampu menjembatani hubungan
antara negara dan masyarakat. Mekanisme ini mempunyai makna strategis, sebab,
pertukaran informasi, dialog dan negosiasi dapat dilakukan oleh berbagai elemen
baik dari negara maupun dari masyarakat melalui sejumlah mekanisme tersebut.
Keberadaan mekanisme yang menjembatani hubungan negara dan masyarakat
ditingkatan operasional dapat dijadikan sebagai instrumen untuk memperkenalkan
cara-cara baru, kesempatan baru serta program baru bagi interaksi negara dan
masyarakat yang sederhana dan efektif. Selain itu, keberadaan mekanisme ini
digunakan untuk memperbaiki, memperbarui serta mereformasi berbagai mekanisme,
sistem dan aktor yang telah ada dan dianggap usang. Contoh kongkret dari
mekanisme yang menjembatani hubungan antara negara dan masyarakat adalah
keberadaan Dinas Komunikasi dan Informasi dari setiap Pemerintah Kabupaten dan
Kota. Dinas ini dibentuk tidak untuk pengendalian informasi, namun justru untuk
meniadakan informasi yang asimetris antara negara dan masyarakat.
2.
Keinginan dan Kapasitas dari Warga Negara dan
Aktor-aktor Civil Society yang Kuat untuk Secara Aktif Terlibat dalam Proses
Akuntabilitas Pemerintah
Adanya
keinginan dan kapasitas yang kuat dari warga negara dan aktor-aktor Civil
Society untuk terlibat dalam proses akuntabilitas pemerintah merupakan
prasyarat penting bagi terwujudnya akuntabilitas sosial. Faktor ini sering kali
berbenturan dengan sejumlah persoalan seperti: fakta lemahnya elemen Civil
Society dan adanya pemikiran bahwa warga negara kurang berdaya.
3.
Keinginan dan Kapasitas dari Politisi dan Birokrat
untuk Mempertimbangkan Masyarakat
Keberadaan
faktor ini menjadi penting karena hambatan terbesar bagi perwujudan
akuntabilitas sosial sering kali berasal dari keengganan para politisi dan
birokrat untuk membuka semua informasi serta mendengarkan setiap pendapat
masyarakat. Banyak pengalaman yang menunjukkan bahwa kepekaan politisi dan
birokrat terhadap aspirasi masyarakat dapat merubah pola interaksi antara
negara dan masyarakat. Pada titik ini, pola interaksi kedua elemen tersebut
dapat semakin disinergikan sehingga terbentuk sebuah pola interaksi yang
bersifat timbal balik antara aktor-aktor yang berasal dari negara maupun
masyarakat.
4.
Lingkungan yang Memungkinkan
Proses
perwujudan akuntabilitas sosial juga menuntut adanya lingkungan politik,
ekonomi dan budaya yang memadai. Pada dunia politik, sebuah proses
akuntabilitas sosial tidak mungkin berhasil jika tidak didukung oleh keberadaan
rezim yang demokratis, adanya sistem multi partai serta pengakuan legal -
formal dari hak - hak sipil dan politik dari warga negara. Demikian juga dalam
dunia ekonomi dan budaya, sebuah upaya perwujudan akuntabilitas sosial akan
menjadi sia - sia ketika lingkungan sosial dan ekonomi tidak menyediakan
kesempatan bagi warga negara untuk memperoleh akses partisipasi yang sama di
kedua dunia tersebut.
MANAJEMEN KRISIS
Krisis
merupakan suatu kejadian besar dan tidak terduga yang memiliki potensi untuk
berdampak negatif maupun positif. Kejadian ini bisa saja menghancurkan
organisasi, karyawan, produk, jasa, kondisi keuangan dan reputasi . Krisis
merupakan keadaan yang tidak stabil dimana perubahan yang cukup menentukan
mengancam, baik perubahan yang tidak diharapkan ataupun perubahan yang
diharapkan akan memberikan hasil yang lebih baik . Organisasi yang memikirkan
dampak negatif yang mungkin ditimbulkan dari suatu krisis akan berusaha untuk
mempersiapkan diri sebelum krisis tersebut terjadi. Bahkan ada peluang dimana
organisasi dapat mengubah krisis menjadi suatu kesempatan untuk memperoleh
dukungan publik. Sebab, krisis terjadi apabila ada benturan kepentingan
antara organisasi dengan publiknya. Secara umum, dapat dijelaskan bahwa
penyebab krisis adalah.
Sebab umum : – gangguan kesejahtraan
dan rasa aman.
–
tanggung jawab sosial diabaikan.
Sebab khusus : – kesalahan pengelola
yang mengganggu lapisan bawah.
– penurunan profit yang tajam.
– penyelewengan.
– perubahan permintaan pasar.
– kegagalan atau penarikan produk.
– regulasi dan deregulasi.
– kecelakaan atau bencana alam.
Suatu
krisis menurut pendapat Steven Fink (1986) dapat dikategorikan kedalam empat
level perkembangan, yakni :
1.
Masa pre-krisis
Suatu
krisis yang besar biasanya telah didahului oleh suatu pertanda bahwa bakal ada
krisis yang terjadi. Masa terjadinya atau munculnya pertanda ini disebut masa
pre-krisis.Seringkali tanda-tanda ini oleh karyawan yang bertugas sudah
disampaikan kepada pejabat yang berwenang, tetapi oleh pejabat yang berwenang
tidak ditanggapi. Oleh karena sipelapor merasa laporannya tidak ditanggapi dia
ikut diam saja. Bila keadaan yang lebih buruk terjadi dia lebih baik memilih
diam daripada laporan dia tidak ditanggapi. Kasus terjadinya kebocoran gas
racun pabrik Union Carbide di Bhopal, India (terkenal dengan nama tragedy
Bhopal) yang merenggut lebih dari 2000 jiwa, telah diantisipasi oleh petugas.
Kebocoran yang terjadi di pabrik Union Carbide di tempat lain tidak diteruskan
ke pabrik di Bhopal. Laporan yang tidak disampaikan itu menyebabkan terjadinya
malapetaka tersebut.Cukup sering terjadi, malapetaka yang besar sudah deketahui
gejalanya oleh orang yang berwenang, tetapi didiamkan saja tanpa diambil
tindakan. Kalau sekiranya tindakan koreksi segera diambil maka kejadian yang
akibatnya fatal tersebut dapat dihindarkan. Mengatasi krisis yang paling baik
adalah disaat pre-krisis ini terjadi. Seringkali suatu krisis sudah
diantisipasi bakal terjadi, namun tidak ada cara untuk menghindarinya. Misalnya
kasus kapal di laut yang akan dilanda oleh topan, dan tidak ada jalan keluar
kecuali menghadapi topan tersebut. Namun oleh karena sudah diantisipasi
terjadinya, sang nakhoda akan lebih siap menghadapi krisis tersebut. Misalnya
mengarahkan kapalnya ke batu karang. Dari contoh ini kita dapat menarik
pelajaran bahwa menghadapi krisis yang tidak terelakkan bila kita sudah tahu,
kita akan lebih siap.
2.
Masa Krisis Akut (Acute stage).
Bila
pre-krisis tidak dideteksi dan tidak diambil tindakan yang sesuai maka masa
yang paling ditakuti akan terjadi. Kasus biskuit beracun setelah korban
berjatuhan, misalnya cepat sekali mendapat sorotan media massa sebagai suatu
berita yang hangat dan masuk halaman pertama. Keadaan yang demikian akan
menimbulkan suasana yang paling kritis bagi perusahaan, khususnya bagi
perusahaan yang produknya tercemar racun. Informasi tersebut berkembang dengan
cepat dikalangan masyarakat dari mulut ke mulut. Setelah itu berkembang masalah
baru berupa ‘rumor’ bahwa banyak makanan lain yang ikut tercemar. Beberapa
bahan makanan yang dilaporkan tercemar racun adalah minyak goreng, bakso,
bakmi, rokok, dan beberapa jenis jajanan pasar. Memang isu keracunan ini akan
merembet ke makanan yang sejenis Hal ini disebut dengan proses generalisasi.
Fenomena generalisasi ini juga terjadi pada pabrik yang mempunyai cabang di
tempat lain, atau pabrik yang memproduksi barang yang hampir sama. Pada masa
krisis akut ini tugas utama perusahaan adalah menarik produk secepat mungkin
agar tidak ada lagi korban yang menjadi korban produk. Pada masa ini tugas
perusahaan bukanlah diprioritaskan untuk mencari penyebab kenapa masalah itu
terjadi. Tetapi tugas pokoknya adalah mengontrol semaksimal mungkin agar jatuhnya
korban dapat ditekan.Masa krisis akut ini jika dibandingkan dengan masa krisis
kronis jauh lebih singkat. Tetapi masa akut adalah masa yang paling menegangkan
dan paling melelahkan anggota tim yang menangani krisis.
3.
Masa kronis krisis.
Masa
ini adalah masa pembersihan akibat dari krisis akut. Masa ini adalah masa
recovery, masa mengintrospeksi kenapa krisis sampai terjadi. Masa ini bagi
mereka yang gagal total menangani krisis adalah masa kegoncangan manajemen atau
masa kebangkrutan perusahaan. Bagi mereka yang bisa menangani krisis dengan
baik ini adalah masa yang menenangkan.Masa kronis berlangsung panjang,
tergantung pada jenis krisis. Masa kronis adalah masa pengembalian kepercayaan
publik terhadap perusahaan.
kesimpulan :
dapat disimpulkan bahwa sebuah
profesi hanya dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat, bilamana dalam diri
para elit profesional tersebut ada kesadaran kuat untuk mengindahkan etika
profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada
masyarakat yang memerlukannya. Tanpa etika profesi, apa yang semual dikenal
sebagai sebuah profesi yang terhormat akan segera jatuh terdegradasi menjadi
sebuah pekerjaan pencarian nafkah biasa (okupasi) yang sedikitpun tidak
diwarnai dengan nilai-nilai idealisme dan ujung-ujungnya akan berakhir dengan
tidak-adanya lagi respek maupun kepercayaan yang pantas diberikan kepada para
elite profesional ini.
Sumber :
http://sarahocta.blogspot.com/2010/01/tugas-etika-bisnis-dan-profesi-isu.html